PERSPECTIVES

Dampak Pandemi COVID-19 pada Keberlanjutan (sustainability) Upaya Eradikasi Polio (Erapo)

Kontributor: Luthfi Azizatunnisa’

Delapan puluh juta anak-anak di seluruh dunia berpotensi tidak mendapatkan immunisasi karena pandemi COVID-19. Di Indonesia, pada Juni 2020 semua provinsi mengalami penurunan cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) yang cukup signifikan dibandingkan Juni 2019. Non polio AFP rate menurun lebih dari 50% di pertengahan tahun 2020 dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama.

Dampak pandemi COVID-19 pada upaya eradikasi polio dibahas dalam webinar (18/8) yang menghadirkan Dr.Vinod Bura, Medical Officer, WHO Indonesia dan dr.Asik Surya, MPPM, Kasubdit Imunisasi, Kementerian Kesehatan RI sebagai narasumber dan Dr.dr.Hariadi Wibisono, Komite Ahli Polio dan dr.Riris Andono Ahmad, MPH, Ph.D sebagai pembahas. Webinar yang dimoderatori oleh dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., ini dihadiri 103 peserta dari berbagai latar belakang antara lain mahasiswa, pemegang program di tingkat kabupaten maupun provinsi, dan professional kesehatan baik di Puskesmas maupun di layanan kesehatan lainnya, Webinar ini bertujuan memberikan gambaran mengenai dampak pandemi terhadap upaya Erapo dan mengajak semua peserta agar sadar terhadap tantangan kesehatan masyarakat yang kita hadapi bersama.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam upaya eradikasi polio (Erapo). Pada 2014, Indonesia bersama negara-negara di South East Asia Region (SEAR) telah dinyatakan bebas polio. Namun, Indonesia masih dalam kategori risiko tinggi terjadi outbreak polio. Importasi dan cVDPV masih membayangi Indonesia karena masih banyaknya daerah kantong dengan cakupan imunisasi polio yang rendah. Upaya ini telah dicanangkan dalam World Health Assembly (WHA) sejak 1988. Tahun 2020, hampir semua negara telah bebas polio, kecuali Afghanistan dan Pakistan.

Global Polio Eradication Initiative (GPEI) mengeluarkan kebijakan global untuk menunda kampanye imunisasi sampai Juni 2020 yang menyebabkan penurunan cakupan dan non polio AFP rate yang signifikan. Dr.Vinod menyampaikan bahwa selain berdampak negatif pada cakupan imunisasi dan surveilans AFP, pandemi juga seperti blessing in disguise karena pembatasan mobilitas luar negeri dapat mengurangi risiko importasi. Pada pertengahan tahun 2020, aktivitas imunisasi dilanjutkan dengan menerapkan protokol kesehatan sesuai dengan panduan WHO dan Kemenkes, papar dr.Asik Surya, MPPM. “Aktivitas imunisasi dan surveilans AFP pada masa pandemi tetap dilakukan bukan semata-mata mengejar target namun sebagai bentuk pemenuhan hak pada anak-anak Indonesia”, jelas dr.Asik

Pada masa pandemi, sebagian sumber daya dialokasikan untuk menanggulangi COVID-19 sehingga terjadi disrupsi pada program kesehatan lain, termasuk Erapo. Disrupsi ini mempengaruhi capaian program yang telah diupayakan berpuluh tahun lalu. Dengan risiko outbreak polio yang tinggi, ditambah dengan dampak pandemi, hal tersebut menjadi peringatan bagi kita dan membutuhkan usaha dan sumber daya lebih untuk mempertahankan keberlanjutan dan capaian program. Rekomendasi yang diusulkan adalah integrasi upaya Erapo dan program kesehatan lainnya. Namun, melakukan integrasi program kesehatan bukanlah hal yang mudah, diperlukan kebijakan dan kepemimpinan yang kuat pada level nasional dan sub-nasional.

Eradikasi polio yang ditargetkan dapat tercapai pada 2023 terancam mundur karena pandemi. “Seumpama lari marathon, sebenarnya kita sudah sangat dekat dengan garis finish. Namun, di depan garis finish kita menghadapi tantangan yang cukup berat”, jelas Dr.Hariadi Wibisono.

Selain terdampak oleh pandemi, polio juga menyumbangkan warisan untuk pengendalian penyakit menular. Dr.Vinod menjelaskan bahwa banyak warisan polio yang dapat diterapkan untuk respon COVID-19 seperti surveilans, manajemen sampel, kapasitas laboratorium, pemeriksaan sampel, komunikasi masa. Dr.Riris Andono Ahmad menambahkan bahwa jejaring surveilans polio sangat mutakhir dan sistematis sehingga dapat dimanfaatkan dalam surveilans COVID-19. Dr.Hariadi menambahkan “Sistem surveilans AFP berorientasi pada proses, sehingga zero reporting dalam surveilans AFP hendaknya menjadi contoh bahwa kasus sudah dicari namun tidak ditemukan kasus, bukan kasus tidak ditemukan karena tidak dicari”.