PERSPECTIVES

Kolonialisme, Wabah, dan Dokter Pribumi

Penulis: Cha Cha – Asisten Peneliti PKT UGM

Kemunculan virus SARS COV-2 atau yang lebih dikenal dengan COVID-19 membuat dunia terhentak. Penyebaran virus secara global ini membuat organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkannya sebagai pandemi. Namun bila dilihat dari sejarah, penyebaran penyakit (wabah) yang memakan banyak korban sudah beberapa kali terjadi. Salah satunya adalah wabah penyakit pes yang terjadi di benua Eropa pada abad ke 14 yang menghilangkan nyawa sepertiga populasi Eropa (Black Death). Tak terkecuali di Pulau Jawa pada tahun 1910-1926 dengan korban meninggal sebanyak 120.000 orang.
Bermula dari gagal panen yang mendorong pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa pada saat itu mengambil keputusan untuk mengimpor beras dari Yangoon, Myanmar. Keputusan ini dibuat meskipun sudah ada peringatan tentang wabah pes yang melanda Myanmar. Akibatnya, karung beras yang juga terdapat kutu tikus didistribusi ke Indonesia melalui Surabaya dan disimpan di Kota Malang. Dalam waktu sebulan, 17 orang meninggal. Keterbatasan media komunikasi pada saat itu menghambat tersebarnya informasi tentang situasi wabah ini.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah Hindia Belanda untuk merespon wabah pada saat itu adalah penutupan akses jalan dan kereta api dari dan menuju Malang. Hingga pembongkaran rumah penduduk yang berdinding bambu untuk memberantas sarang tikus. Pengisolasian kota Malang tidak berlangsung lama dikarenakan kurangnya buruh pertanian yang berdampak pada sektor ekonomi. Akibatnya, terjadi lonjakan kasus yang semakin tinggi. Misalnya, pada tahun 1913 terdapat lonjakan kasus 5x lipat dari tahun sebelumnya sebanyak 11.000 orang.
Keengganan para dokter Belanda saat itu untuk menangani wabah pes disebabkan oleh adanya ketakutan akan peristiwa Black Death. Nama dr. Cipto Mangunkusumo menjadi yang paling berpengaruh pada saat wabah pes terjadi. Beliau tanpa takut langsung menangani pasien meski tanpa alat pelindung diri (APD). Tidak hanya itu, pemerintah Hindia Belanda pun membuat kebijakan untuk meluluskan mahasiswa kedokteran tingkat akhir STOVIA yang berhasil menyembuhkan pasien penyakit pes tanpa harus menulis tesis meski dengan resiko kematian. Pada akhirnya, hanya dokter-dokter bumiputra dengan jumlah terbatas yang menangani wabah pes. Masalah lain yang harus dihadapi adalah pengucilan terhadap penderita pes oleh masyarakat.
Bercermin dari sejarah, permulaan wabah terjadi karena adanya ketidakseriusan pemerintah dalam menanggapi peringatan akan wabah dan masalah-masalah yang timbul setelahnya mencakup kelangkaan APD bagi para tenaga medis, lonjakan kasus yang terjadi setelah penyudahan masa isolasi untuk mendukung sektor ekonomi serta pengucilan terhadap penderita. Namun dibalik itu semua, tindakan yang dilakukan oleh dr. Cipto Mangunkusumo dan dokter bumiputra lainnya memberi makna yang dalam tentang nilai kemanusiaan dan perjuangan.
Dimasa sekarang kita menghadapi pandemi COVID-19, apresiasi yang sangat tinggi juga pantas diberikan bagi para tenaga medis dan semua pihak yang telah terlibat termasuk para relawan. Kita pun menjadi bagian dalam perjuangan tersebut dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, menyebarkan informasi yang valid dan tidak memberi stigma dan mengucilkan para pasien. Tetap waspada dan terus saling mendukung untuk bersama-sama keluar dari masa krisis kesehatan masyarakat dan ekonomi.

Referensi:
https://nationalgeographic.grid.id/read/132090830/karut-marut-pagebluk-pes-pertama-di-hindia-belanda?page=all

https://republika.co.id/berita/q8t5m9393/pengorbanan-dokter-bumiputra-di-masa-pagebluk