NEWS

Morbiditas TBC Indonesia Masih Tinggi: Dua Peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM Ambil Andil dalam Lokakarya Terapi Pencegahan TBC (TPT)

Kamis (10/2), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang bekerjasama dengan Yayasan KNCV Indonesia menggelar Lokakarya Terapi Pencegahan TBC (TPT) pada Kontak Serumah dan ODHIV Bagi Organisasi Profesi dalam rangka memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia yang akan jatuh pada hari Kamis, 24 Maret 2022. Dua peneliti Pusat Kedokteran Tropis UGM, dr. Yanri Wijayanti Subronto, PhD, Sp.PD, KPTI, FINASIM dan dr. Rina Triasih, M.Med (Pead), Ph.D, Sp.A (K) turut ambil andil pada acara tersebut sebagai moderator dan pembicara.

Pada kesempatan tersebut dr. Yanri menjadi moderator untuk Shalala Almadova, MD., MPH. selaku perwakilan WHO Indonesia dan banyak membahas tentang angka kejadian TBC, rencana penanganan TBC dalam beberapa tahun ke depan, cakupan pemberian TPT, serta kendala yang seringkali dihadapi dalam pemberian TPT secara global di seluruh dunia. Selain itu pada sesi kedua pembahasan dilakukan lebih mengerucut terhadap permasalahan TBC dan pemberian TPT di Indonesia bersama dengan dr. Siti Nadia Tarmazi, M.Epid. Kerja sama antar berbagai pihak untuk menanggulangi TBC pada kontak serumah dan pada ODHIV merupakan pilar penting keberhasilan terlaksananya program Terapi Pencegahan TBC (TPT) hal ini erat kaitannya dengan angka kejadian TBC yang masih cukup tinggi pada berbagai kalangan usia di Indonesia.

Adapun dr. Rina pada kesempatan tersebut bertindak selaku pembicara membawakan materi Pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT) pada Anak Kontak Serumah. Pembahasan ini menjadi menarik mengingat angka morbiditas setelah infeksi yang cenderung tinggi pada bayi di bawah usia 2 tahun dan akan meningkat pada anak-anak usia remaja (10-15 tahun). Selain itu di Indonesia, masih banyak anak-anak yang kehilangan kesempatan untuk mendapatkan TPT walau sudah terbukti jelas memiliki kontak erat dengan keluarga atau bahkan orang tua yang positif mengidap TBC. Kelalaian dari orang tua akan berdampak pada pertumbuhan serta perkembangan anak, bahkan menjadi penyumbang angka mortalitas akibat sang anak tidak segera mendapatkan pengobatan ataupun pencegahan TBC. Sedangkan pada anak-anak usia remaja penyebab utama infeksi diperoleh dari teman sejawat, hal ini menjadikan penelusuran kontak menjadi penting untuk dapat memutus rantai penularan TBC.

Angka kejadian TBC pada usia anak-anak dan remaja yang masih melejit menjadikan pemberian TPT dan penelusuran kontak sangat krusial perannya dalam mencegah terjadinya sakit TBC dan kematian TBC pada anak. Hal ini tentu juga akan menjadi katalisator eleminasi TBC pada anak-anak dan remaja. Sasaran pemberian TPT pada anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok utama, kelompok anak dengan HIV/AIDS, anak kontak serumah dengan pasien TBC paru terkonfirmasi bakteriologis, dan anak dengan risiko lain yang memiliki HIV negatif. Tidak hanya mengacu pada pedoman penatalaksanaan TBC anak, keadaan aktual pasien juga harus menjadi dasar dalam pemberian TPT. Kelompok anak dengan HIV/AIDS dan kontak serumah wajib dilaksanakan evaluasi untuk mengetahui apakah sang anak memiliki gejala TBC. Apabila ada gejala TBC, maka akan dilanjutkan dengan pemberian obat anti tuberculosis (OAT) apabila tidak ada gejala, maka diberikan TPT.

Gejala-gejala TBC yang muncul pada anak yang tidak kontak langsung dengan pasien TBC meliputi batuk dan demam yang lebih dari dua minggu serta berat badan yang tidak naik lebih dari dua bulan. Sedangkan pada anak yang memiliki kontak erat maka setiap ada batuk, demam atau masalah berat badan walau kurang dari dua minggu atau dua bulan maka wajib dilakukan penelusuran kontak dan evaluasi hingga dapat dibuktikan apakah anak tersebut terinfeksi TBC atau tidak. Pemberian TPT pada anak-anak dan remaja yang tidak memiliki gejala dibedakan berdasarkan kelompok sasaran dan usia. Beberapa hal yang perlu dimonitor dalam pemberian TPT adalah munculnya gejala TBC, adanya efek samping berupa ruam, mual, dan muntah, serta kepatuhan dalam mengonsumsi TPT (minimal 80% dari rangkaian terapi). Namun efek samping yang terjadi akibat dari pemberian TPT pada anak, jarang terjadi, tidak parah, dan dapat ditanggulangi serta diantisipasi.

Pemberian TPT pada anak-anak dan remaja tidak selalu berjalan mulus, masih banyak kendala yang sering dialami baik dari segi tenaga kesehatan maupun dari kelompok sasaran. Tidak sedikit dari tenaga kesehatan yang belum mengetahui pentingnya pemberian TPT pada anak yang kontak serumah. Selain itu paradigma masyarakat yang menganggap pemberian terapi atau obat hanya diberikan pada orang sakit menjadi dua kendala utama pada proses pemberian TPT. Sehingga edukasi tenaga kesehatan penting dilakukan agar tenaga kesehatan paham akan pentingnya pemberian TPT dan mampu meyakinkan kelompok sasaran untuk dapat melakukan terapi sesuai dengan pedoman yang telah dianjurkan.Adanya inisiasi lokakarya ini diharapkan mampu menjadi batu pijakan untuk dapat memperluas cakupan pemberian TPT, mempercepat penelusuran kontak sehingga masalah TBC khususnya di Indonesia dapat ditangani dan diatasi dengan baik. Selengkapnya mengenai Lokakarya Terapi Pencegahan TBC (TPT) pada Kontak Serumah dan ODHIV Bagi Organisasi Profesi dapat disaksikan kembali di Kanal YouTube Yayasan KNCV Indonesia pada tautan/link berikut https://youtu.be/ySZH_tXPSPk.