Penyakit Kusta Bukanlah Penyakit Kutukan
Kontributor: Nuzul Sri Hertanti
Tahukah Anda apa itu penyakit kusta? Apakah penyakit kusta merupakan penyakit keturunan dan akibat dari kutukan? Tentunya tidak. Meskipun masih ada masyarakat yang menganggap penyakit kusta sebagai penyakit yang diturunkan dan dikaitan dengan darah yang kotor atau najis sehingga orang yang terkena kusta sudah selayaknya dikucilkan dari masyarakat (Tosepu et al., 2018).
Kusta atau lepra telah dikenal hampir 2000 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini merupakan salah satu contoh Neglected Tropical Diseases (NTD). Kusta adalah suatu penyakit infeksius yang disebabkan oleh bakteri: Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf, kulit, dan mukosa saluran pernafasan atas (World Health Organization [WHO], 2019).
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus baru kusta setiap tahunnya. Hal ini menjadikan Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil sebagai negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi. Prevalensi kusta di Indonesia sebesar 0.70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru (NCDR) sebesar 8.08 kasus/10.000 penduduk pada tahun 2017. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2015-2017 Kemeterian Kesehatan RI, semua provinsi di Sulawesi, Maluku, dan Papua merupakan provinsi dengan angka penemuan kasus baru yang tinggi (jumlah kasus baru lebih dari 1.000). Jawa Timur sebagai satu-satunya provinsi di wilayah barat Indonesia yang memiliki jumlah kasus baru yang tinggi pada tahun 2015-2016 (Kementerian Kesehatan, 2018).
Gambar 1. Jumlah kasus dan pertambahan kasus baru kusta di Indonesia tahun 2013-2017
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2013-2017, Pusat Data dan Informasi
Bakteri penyebab kusta dapat ditularkan melalui droplet atau percikan cairan dari hidung dan mulut pada saat kontak langsung secara terus menerus dalam waktu yang lama dengan pasien kusta (WHO, 2019). Bakteri Mycobacterium leprae mengalami perkembangbiakan selama dua sampai dengan tiga minggu dan masa inkubasi penyakit ini rata-rata lima tahun. Sehingga gejala tidak langsung muncul jika seseorang terpapar oleh bakteri ini, Gejala dapat muncul dalam satu tahun tapi juga bisa muncul setelah lima tahun atau lebih. Tanda awal dari gejala kusta antara lain, kulit mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak bisa melakukan fungsinya (Kementerian Kesehatan, 2018).
Kusta dikategorikan menjadi dua: kusta kering atau pausi basiler (PB) dan kusta basah atau multi basiler (MB). Kusta PB ditandai dengan adanya bercak putih seperti panu dan mati rasa, permukaan bercak kering dan kasar, tidak tumbuh rambut, bercak pada kulit antara satu sampai lima lokasi. Ada kerusakan saraf tepi pada satu lokasi bercak, namun hasil pemeriksaan bakteriologis negatif. Kusta PB tidak menular. Sementara itu, kusta MB ditandai dengan bercak putih kemerahan yang tersebar di seluruh kulit dari tubuh penderita, terjadi penebalan dan pembengkakan pada bercak, bercak lebih dari lima lokasi, terdapat banyak kerusakan saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteriologi positif. Kusta MB sangat mudah menular.
Kusta dapat diobati dan jika ditangani lebih cepat maka dapat mencegah kecacatan. Di Indonesia, pengobatan pasien kusta dengan multidrug therapy (MDT) yaitu beberapa macam antibiotik (Kementerian Kesehatan, 2018). Akan tetapi, kusta yang tidak ditangani atau tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf tepi, anggota gerak, dan mata (WHO, 2019). Kerusakan permanen atau kondisi cacat yang dialami oleh pasien kusta memicu stigma masyarakat pada pasien kusta baru maupun pasien kusta yang sudah sembuh. Stigma adalah pandangan negatif dan perlakuan diskriminatif. Stigma menghambat pasien kusta maupun pasien yang sudah sembuh dan keluarga untuk menikmati kehidupan sosial sebagaimana mestinya.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa sebagian besar pasien kusta dengan kecacatan memiliki kesempatan yang sangat rendah untuk memperoleh pekerjaan, dikucilkan dari masyarakat sehingga pasien merasa malu mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pengobatan (Brouwers et al., 2011). Selain itu, pasien kusta merasa malu, sedih, takut, dan bersalah karena menjadi beban bagi keluarga (Lusli et al., 2015).
Gambar 2. Kusta kering atau pausi basiler (PB)
Sumber: https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm
Gambar 3. Kusta basah atau multi basiler (MB)
Sumber: https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm
Referensi
Brouwers, C., van Brakel, W., & Cornielje, H. (2011). Quality of life, perceived stigma, activity and participation of people with leprosy-related disabilities in south-east Nepal. Disability, CBR & Inclusive Development, 22(1), 16-34. DOI 10.5463/DCID.v22i1.15
Clinical signs and symptoms. (n.d.). https://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2006/Leprosy/snsx.htm
Kementerian Kesehatan. (2018). Infodatin: Hapuskan stigma dan diskriminasi terhadap kusta. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Lusli, M., Zweekhorst, M., Miranda-Galarza, B., Peters, R. M., Cummings, S., Seda, F. S., & Bunders, J. F. (2015). Dealing with stigma: experiences of persons affected by disabilities and leprosy. BioMed research international, 2015. https://doi.org/10.1155/2015/261329
Tosepu, R., Gunawan, J., Effendy, D. S., & Fadmi, F. R. (2018). Stigma and increase of leprosy cases in SouthEast Sulawesi Province, Indonesia. African Health Sciences, 18(1), 29-31. https://dx.doi.org/10.4314/ahs.v18i1.5
World Health Organization [WHO]. (2019). Leprosy. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy