NEWS

Situasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di Masa Depan: Apotek Komunitas Butuh Dukungan Pemerintah

Berbicara tentang pandemi COVID-19 memang tidak akan habisnya. Segala bentuk tatanan kehidupan di seluruh dunia berubah dalam sekejap, termasuk juga bidang obat-obatan atau kefarmasian di Indonesia. Gabungan peneliti dari proyek Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance (PINTAR)* menggali lebih dalam perspektif dari 21 orang staf apotek dari 6 provinsi yang berbeda terkait perihal pengalaman, keamanan kerja, dan sikap mereka selama pandemi COVID-19. Sebagian besar staf apotek sudah bekerja setidaknya 3 tahun di apotek ritel atau milik perorangan yang sering dikunjungi masyarakat ketika sakit (apotek komunitas).

“Studi ini menekankan pentingnya apotek komunitas sebagai pelayanan kesehatan pertama. Artinya ketika masyarakat mengalami gangguan kesehatan justru punya kebiasaan kontak pertama kali datang ke apotek. Oleh karenanya penting sekali apoteker ditingkatkan perannya dalam diberikan dukungan. Bisa berupa panduan untuk mereka mengedukasi masyarakat luas, terutama kaitannya dengan penggunaan antibiotik selama pandemi yang memang meningkat,” ujar Prof. Ari Natalia Probandari, MPH., Ph.D. selaku salah satu peneliti utama proyek PINTAR.

Pada awal pandemi peran apotek komunitas sangat krusial, hal ini imbas dari banyaknya Puskesmas yang tutup akibat tinggi angka kejadian COVID-19 pada tenaga kesehatan. Tugas utama yang diemban oleh apotek komunitas selama pandemi seperti, memastikan obat-obatan dan alat perlindungan diri (APD) tercukupi, menyebarluaskan informasi terkait COVID-19, merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang memadai dan yang terpenting adalah mengampanyekan penggunaan antibiotik yang tepat.

Sejalan dengan itu, hasil studi ini mengungkapkan bahwa selama pandemi banyak sekali kekhawatiran yang dilaporkan oleh staf apotek, seperti misalnya meningkatnya permintaan antibiotik, ketakutan mereka terhadap paparan COVID-19, peningkatan biaya, dan sering habisnya stok APD, seperti masker, hand sanitizer, dan obat-obatan.

Tentu saja campur tangan pemerintah dirasa sangat diperlukan guna mengatur sirkulasi APD, obat-obatan, dan informasi serta yang paling penting adalah menerapkan aturan tambahan penggunaan antibiotik yang tepat.

“Regulasi tambahan ini menjadi penting mengingat prediksi kematian akibat dari resistensi antibiotic mencapai 10 juta jiwa per tahunnya pada tahun 2050 mendatang,” tangkas Prof. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK(K). yang juga merupakan salah satu peneliti proyek PINTAR.

Selain itu kekhawatiran-kekhawatiran yang sebelumnya dilaporkan dapat dihindari apabila terjadi kedaruratan yang sama di masa mendatang.

Baca hasil selengkapnya di https://bit.ly/PINTARStudyFullPaper2

*PINTAR merupakan proyek yang dipimpin oleh Kirby Institute of Australia’s University of New South Wales (UNSW) yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Kementerian Kesehatan RI, London School of Hygiene & Tropical Medicine, The University College London di Inggris, dan The George Institute for Global Health di UNSW Sydney. Penelitian ini merupakan bagian dari proyek PINTAR, yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan antibiotik secara rasional di masyarakat dan memerangi resitensi antimikroba. Studi ini didukung oleh hibah dari Indo-Pacific Centre for Health Security (DFAT) di bawah naungan Australian Government’s Health Security Initiative dan sudah dipublikasikan pada tanggal 1 Juli 2022 di PLOS Global Public Health.